Japan Trip #1 - Tokyo!

8:02 PM


Kota pertama dan terakhir yang saya explore di Jepang adalah Tokyo. Kesan pertama terhadap kota ini : metropolitan, ramai, sibuk. Terutama di Shibuya dan Omotesando yang yaampun padet banget jalanannya sama manusia. Sepanjang mata memandang isinya lautan manusia semua.

Saya bermalam di dua tempat berbeda selama di Tokyo, di awal perjalanan saya menginap di Khaosan Asakusa Hostel sedangkan di akhir menjelang pulang saya menginap di Bunka Hostel. Kedua tempat menginap itu adalah capsule hotel. Menginap di capsule hotel adalah salah satu pengalaman yang harus banget kamu cobain! Selain membantu meminimalisir pengeluaran, kalau kamu sendirian kamu bisa bersosialisasi di common room dengan turis lain di sini. Kalau saya sih merasa sayang mengeluarkan uang banyak untuk penginapan padahal saya cuma numpang tidur beberapa jam dan numpang mandi. Lagi jalan-jalan masa lama-lama di penginapan? Sayang kaaan?

***

Pesawat kami landing di Haneda pukul 21:40 JST. Sepanjang jalan saya susah tidur pulas karena memang ga biasa tidur di kendaraan. Kecapean habis duduk di pesawat 8jam-an (belum dihitung transit di Singapura), sambil setengah melek kami harus naik kereta ke Asakusa. Turun di stasiun Asakusa, lalu kami masih harus jalan kaki geret-geret koper ke hostel. Kami ga bisa minta pocket wi-fi diambil di bandara berhubung si pesawat mendarat malam, alhasil kami ga punya koneksi internet malam itu. Kami nyasar! Akhirnya menyerah dan masuk ke Family Mart untuk tanya jalan dan ngangetin badan (dingin bok! waktu itu temperatur sekitar 90C). Untungnya si kakek yang jaga bisa sedikit Bahasa Inggris, jadi kami terselamatkan dan dikasih tahu jalan ke hostel.

Sampai di Hostel dan check in, kami sekalian ambil pocket wi-fi yang diantarkan ke hostel. Bisa kacau besoknya kalau kami nyasar tanpa internet lagi. Penyakit anak millenial yang ga bisa survive tanpa GPS hahaha

Hari pertama menjelajah Tokyo, berdasarkan itinerary ambisius kami harusnya mendatangi  Gerbang Kaminarimon, Kuil Sensoji, Nakamise Shopping Street, Harajuku, Omotesando, Shinjuku Gyoen National Park, Tokyo Sky Tree dan Shibuya. Banyak kan? Makanya saya bilang ambisius hahaha.. Akhirnya kami skip Shinjuku Gyoen dan dapat semua yang lainnya (walaupun cuma sebentar).

Kaminarimon, Sensoji dan Nakamise lokasinya dekat dengan hostel kami, jadi kami jalan kaki ke sana. Ketiga tempat ini sekompleks kok, jadi bisa langsung dapet tiga-tiganya sekali hap. Kami ke sana lumayan pagi (sekitar jam 9 pagi) dan toko-toko di Nakamise belum buka semua, tapi ternyata sudah ramai gerbang dan kuilnya.



Di Nakamise banyak banget jualan mulai dari pernak-pernik, furin sampai snack. Saya menyesal banget ga beli furin di sini, karena ternyata saya ga ketemu toko yang jual furin lagi setelah dari sini sampai pulang ke Indonesia :(. Pesan moral : kalau ada yang mau dibeli dari luar negeri, belilah pas kamu lihat barangnya (dan kalau ada uangnya ya).






Kemudian kami lanjut ke Kuil Meiji yang merupakan kuil paling terkenal di Tokyo. Saya masuk dari arah Shibuya, untuk sampai kuilnya kita harus jalan dulu melewati taman yang pohonnya rindang-rindang. Cuaca waktu itu sejuk, temperatur sekitar 11-120C. Kami menyusuri jalan setapaknya berkerikil, sinar mataharinya waktu itu ga terlalu terik. Menyenangkan deh jalan di sana!




Waktu saya ke Meiji, saya cukup beruntung karena sedang ada prosesi pernikahan. Ada dua pasangan yang waktu itu menikah di kuil ini. Mereka sepertinya harus sembahyang di kuil lalu ada prosesi lain di taman, terakhir mereka berfoto di beberapa spot. Saking banyaknya turis, mereka malah jadi objek foto. Semua turis berkerumun angkat-angkat hp dan kamera untuk foto (termasuk saya juga sih).


 
Selain pernikahan, hari itu juga sedang banyak anak kecil ber-kimono di kuil Meiji. Gemas banget lihat mereka jalan pelan-pelan kikuk karena pakaian tradisionalnya. Banyak yang jongkok karena takut jatuh. Setelah saya cari tahu, ternyata November ada Shichi-Go-San dimana anak-anak berusia 3, 5 dan 7 tahun dibawa untuk berdoa ke kuil Shinto. Festival ini bertujuan untuk mendoakan supaya anak-anak bertumbuh dengan baik dan selalu sehat.



Di Meiji juga banyak turis yang menulis permohonan di sebuah plakat kayu yang disebut ema. Ema yang sudah ditulis nantinya akan di gantungkan dengan kepercayaan bahwa para dewa akan membaca dan mengabulkan permohonan itu. Sejarahnya menurut kepercayaan Shinto dahulu kala, menyumbangkan kuda untuk kuil akan memberikan karma baik, namun tidak semua orang mampu membeli kuda. Akhirnya kuda digantikan dengan plakat kayu bergambarkan kuda. Itulah kenapa plakat kayu ini disebut ema (ditulis menggunakan kanji gambar dan kuda). Sekarang gambarnya sudah bervariasi, bahkan ada yang bentuknya rubah di Fushimi Inari, Kyoto.

Selain itu di kuil-kuil Jepang juga menjual omamori. Pasti kalian pernah lihat jimat keberuntungan berbentuk kantung kain ala Jepang di komik, kartun atau film-film Jepang. Itu beneran ada kok. Di dalam kantung kain akan diisi kertas doa, nah doa itu yang nanti akan menentukan peruntukan si jimat. Ada beragam omamori yang dijual, kebanyakan untuk keberuntungan, keselamatan di perjalanan dan kelancaran studi.



Dari Meiji kami lanjut ke Harajuku. Rame banget kaya sarden. Gang kecil ini super padet, isinya jualan baju-baju kawai (yang saya sih lihatnya kaget hahaha). Terlalu imut mungkin ya. Saya sih ga ngerti gimana orang-orang belanja di sini, soalnya penuh banget jalanannya. Boro-boro berenti lirik toko, baru nengok sebentar, orang di belakang saya udah mendesak minta maju.

Salah satu yang terkenal di Harajuku tuh si Santa Monica crepes. Ada dua posisinya, di ujung gang Harajuku (lebih lega tempat antrinya) dan di dalam gang Harajuku. Saya beli di dalam gang karena ga tahu kalau ada dua. Saran saya sih kalau mau beli lebih baik beli di ujung jalan karena lebih lega dan ga menghalangi orang jalan. Displaynya menarik, isi crepesnya macam-macam (brownies, caramel pudding, mangga, es krim, mix juga bisa). Tapi sejujurnya saya kecewa karena 80% isi crepesnya itu whip cream dan rasanya kemanisan menurut saya. Beli satu untuk berdua aja susah payah ngabisinnya (kebetulan saya dan teman saya ga suka manis).




Perjalanan lanjut ke Omotesando. Di Omotesando kami cuma jalan menyusuri pertokoan. Berhubung masih akan pergi ke kota lain, kami belum mau belanja dulu. Nanti jadi berat kopernya terus repot geret-geretnya.



Berlanjut ke Tokyo Skytree. Waktu kami sampai, antriannya waduh udah kaya ular naga. Kami hampir membatalkan niat naik Skytree, tapi ada satu mbaknya yang bilang bahwa turis ada antrian khusus tapi harganya lebih mahal sekitar 200 yen. Mengingat itinerary kami yang super padat, ga akan sempat ke Skytree lagi kalau ga naik sore itu. Akhirnya kami ambil antrian turis dan bayar extra untuk naik ke Tembo Deck. Saran saya lebih baik beli tiket online jauh-jauh hari kalau mau naik Skytree.

Kami stay di Skytree sampai matahari terbenam karena saya mau lihat pemandangan di malam hari. Saya agak menyesal sih naik, karena ya gitu aja.. ga se-istimewa itu. Enaknya walaupun ramai banget, orang-orang cukup tahu diri untuk gantian melihat pemandangan (atau mungkin bosen juga kalau lama di spot yang sama). Saya pribadi rasanya cukup satu kali saja naik, ga ada rencana naik lagi kesini. Setidaknya pernah naik lah..







Perhentian terakhir : Shibuya crossing. Kami turun di Stasiun Hachiko (sekalian lewat patung Hachiko) untuk ke Shibuya. Spot yang bagus untuk 'menikmati' penyebrangan ikonik ini katanya di Starbucks atau di stasiun lantai dua. Saya memilih di stasiun karena Starbucksnya penuh. Kelebihannya kalau dari Starbucks, kita lihatnya bisa sambil duduk, menyesap kopi hangat. Dari stasiun saya harus berdiri. Tapi toh saya ga akan lama-lama juga, jadi ga apa-apa deh sambil berdiri.
Selain lihat dari atas, tentunya saya mau ikut nyebrang (norak ye..). Nyebrangnya juga maunya yang paling jauh, jadi saya menyebrang di zebra cross yang diagonal.



Menarik ternyata melihat kekacauan manusia 'tumpah' ke jalanan waktu menyebrang dan langsung kosong setelah lampu penyebrangan berubah merah. Di Jepang semuanya serba teratur. Semua orang mematuhi rambu penyebrangan. Kereta juga on time, kalau delay pun pasti ada pengumumannya di platform stasiun. Ke manapun serba mudah karena keretanya banyak, tinggal ketik mau kemana di google maps, nanti dikasih tahu harus naik kereta apa di mana jam berapa.

Satu kejadian yang agak bikin bete waktu di Tokyo adalah tutup lensa kamera saya hilang entah kemana. Waktu itu saya menggondol si kamera kemana-mana sih, jadi dugaan saya waktu saya menyebrang di Shibuya sepertinya tersenggol dan jatuh. Akhirnya hari itu kamera saya jajan tutup lensa di Shibuya, berakhir dengan Prisa tergoda beli kamera soalnya harga kamera di sana lumayan oke sih hahaha


Malam sebelum pulang ke Asakusa, kami mampir ke Stasiun Shibuya untuk mengaktifkan JR Pass dan book kursi untuk shinkansen ke Kyoto. Cerita Kyoto akan saya tulis di post terpisah ya!

Thanks for reading!

You Might Also Like

0 comments

Subscribe